Selasa, 28 Oktober 2014

CERPEN - HUJAN DAN PETRICHOR

HUJAN DAN PETRICHOR



“Message Saved” Tulisan yang muncul di handphone Faiza.
Dikayuhnya kembali sepeda onthel-nya menuju sebuah rumah di sudut jalan besar Ahmad Yani. Dibukanya perlahan pagar bercat hitam berkarat itu.

“Mas Fahri… Aku datang…!” Teriakannya menembusi rerintik gerimis sore itu.

“Ya… Za…. Tanpa berteriak aku sudah mencium baumu 15 meter dari rumahku.” Sapa seorang laki-laki tinggi besar berkulit putih sembari membuka pintu. “Hujan-hujan begini… Apa tidak bisa besok saja kita bertemu di kantor.”

“Ndak, Mas. Bisa hari ini kenapa harus besok?” Jawab Faiza sambil mengibaskan roknya yang basah.

“Ada apa? Hari ini jadi berangkat ke Jakarta? Apa sudah yakin?Sudah difikir tenanan?”

Faiza hanya menjawabnya dengan senyuman.

“Za, kamu kegerimisan kok ya sudah pucat begitu. Aku bikinin teh anget ya…”

“Mboten, Mas. Ndak usah repot-repot. Aku agak terburu-buru. Cuma mau nitip ini.” Faiza menyodorkan kotak coklat sedikit berat.

“Apa ini, Za?”

“Kayak sms saya tadi, Mas. Aku minta tolong nanti kalau aku sudah sampai di Jakarta, pas ulang tahunnya Arman, sampean buka kotak ini. Tidak ada perhiasan atau uang di dalamnya. Hanya saja aku pengen sekali Mas Fahri yang simpen kotak ini. Nanti di dalam kotak ini ada 1 pesan sesuai petunjuk. Nanti jika sudah waktunya tolong Mas Fahri ikuti petunjuk saja.”. Faiza menyeka sisa bulir gerimis di keningnya.

“I… iya… Za. Kamu ini seneng banget bikin orang penasaran. Trus bayaranku apa?”

“Mmmhhhhhhhhhh….” Faiza memeluk Mas Fahri, sepupunya. “Ini bayarannya, Mas.”

“Ihhhh…. Za…. Kok mesti….. Kamu hati-hati ya. Kabari Mas kalau sudah sampai di sana. Harus mau angkat telponku. Obatnya diminum.”Mas Fahri mencubit pipi Faiza.

“Bawel kayak emak-emak ya kamu, Mas. Aku berangkat ya Mas. Faiza sayang…sama dokter ganteng macam Mas Fahri… “ Faiza mengayuh sepedanya sambil melambaikan tangan pada Mas Fahri.


***


Gerimis kemarin sore ternyata hanyalah sapaan di kemarau panjang ini. Tak terulang lagi di hari berikutnya. Bahkan bulan berikutnya. Matahari sepertinya tak lelah menyengat bersama kilauan aspal sepanjang kota Pahlawan. “Petrichor… berharap menciumnya sebelum pergi.” Pekik Faiza sambil menjulurkan kepalanya keluar jendela kantornya di lantai 3.

Ditutupnya kembali jendela kantornya dan pandangannya menembusi kekisah beberapa bulan silam.


Alarm jam dinding kamar Faiza sudah konsisten berdering di angka 8 malam sejak beberapa minggu yang lalu. Menjadi perintah yang tidak dapat dielakkan jika saat itu datang, Faiza sudah menghadap laptop dan mengaktifkan akun Yahoo Massanger miliknya.


Belum ada satu menit akun-nya berwarna kuning, kotak chatroom muncul bersamaan dengan nada khusus yang dia pasang untuk akun seberang.

“Aku suka puisinya. Terima kasih… Baby Faiza…”


Sambil tersenyum kegirangan Faiza membalas, “Kok suka? Puisi itu mematahkan teorimu tentang hujan dan petrichor.”


Sambil menunggu balasan, diteguknya dua buah pil bersama segelas air putih.


Senyumnya merekah lagi ketika membaca tulisan “Armand is typing…..” Suasana seperti ini sudah tidak asing lagi sejak perkenalannya dengan Armand. Cyber friend yang akhirnya berlanjut di Room Yahoo Massanger. Sekalipun sebenarnya sudah tidak zamannya lagi aplikasi chating itu.


“Nggak papa… Hanya perbedaan sudut pandang. Menurutku hujan dan petrichor itu saling meniadakan dan menurutmu saling menguatkan. Itu sudah indah. Perbedaan yang indah. Semoga bisa cepat menghirupnya di akhir kemarau panjang ini ya, Baby Faiza…”


“  Iya. Aku berharap bisa seperti hujan dan petrichor yang saling menguatkan, Mand. Terimakasih telah menjadi hujan yang menjadikan adanya petrichor, dalam hidupku. *hug*”


“*kiss* and *hug*.” Balas Armand.


“Mand, besok sahabatku menikah. Senang rasanya melihatnya bahagia. Kamu punya cita-cita menikah kapan?


“Za, aku jemput mama dulu ya. Nanti kita sambung lagi.” Sign out.


“Kenapa Armand selalu begitu ya ketika aku tanya hal-hal sedikit serius? Padahal sebenarnya bercanda saja. Kita juga tidak akan melangkah lebih jauh sementara kita belum saling bertemu.” Kalimat itu selalu berlarian di pikiran Faiza.



***

“Sebaiknya jangan pergi ke sana tanpa memberi kabar pada Armand, Za.”


“Bukankah kondisiku sudah membaik, Mas? Asalkan minum obat ini kan aku bisa bertahan beberapa jam dalam posisi duduk? Insya Allah aku bisa nyari kantornya, kok. Ndak bakal nyasar.” Faiza bangkit dari baringannya.


“Bukan masalah itu. Kamu belum dapat kepastian dari Armand. Apa dia ada di kantornya atau tugas luar. Kejutanmu dengan datang ke sana di hari ulang tahunnya tidak akan menghasilkan apa-apa nantinya. Empat Desember, sehari setelah ulang tahun Armand kamu waktunya cuci darah lagi. Kalau tidak nanti kakimu bengkak lagi. Jangan bandel. Aku ini doktermu.”


“Mas Fahri ndak usah khawatir. Tanggal 4 aku usahakan balik ke Surabaya. Tepat waktu! Sebelum kakiku bengkak karena racun di dalam tubuhku. Ya mas… ya?” Rengek Faiza pun tak kuasa membuat Fahri mampu menghentikan Niat Faiza ke Jakarta.


“Aku ndak tega sama kamu Za…. Kamu itu ndak sehat….. Kadonya buat Armand dikirim aja. Ndak usah kamu sampai kesana.”


“Mas, dia yang membuatku kuat loh. Bisa kuat seperti ini katamu, Mas. Setidaknya sekali aja ketemua dia, Mas. Ya?” Faiza menggenggam tangan Mas Fahri. Dilepaskannya stetoskopnya dari leher, meletakkannya di meja dan meninggalkan Faiza.



****


Faiza merasa lega luar biasa bisa menitipkan kotak kesayangannya pada Mas Fahri. Dikayuhnya sepeda onthel warisan almarhum Bapaknya sampai ke stasiun. Sengalan nafas yang memburu seakan benar-benar bukti keseriusannya bertemu Armand di Jakarta.


“Oughh… Sakit!” Faiza meremas perut bawah kanannya. Dua pil berhasil dihanyutkan ke dalam perutnya dan berharap sampai ke jakarta dengan selamat hanya untuk bertemu dengan ‘hujan’.


Dua belas jam berlalu bersama kepulan asap kereta api menuju Jakarta. Hari yang sangat sulit untuk Faiza. Dia harus bertahan beberapa jam lamanya. Beberapa tahun terakhir dia tidak bisa bertahan duduk dalam waktu yang lama. Hanya demi bertemu Armand, dia berusaha sekuat tenaga melawan sakitnya.


Betapa girang hatinya ketika membaca tulisan “Stasiun Kereta Api Cawang”. Bergegas dia turun dan melawan kakinya yang sedikit bengkak. Faiza tak mau menunggu lama, taxi membawanya ke daerah perkantoran Cipete.


Sengalan nafasnya terhenti, tubuhnya melemas karena yang dia cari tidak masuk kantor hari ini. Faiza memberanikan diri meminta alamat rumah Armand pada resepsionis gedung pencakar langit itu.


“Hujan……” Faiza girang bukan kepalang karena hujan turun di siang itu.


“Petrichor….. Kamu datang….” Faiza menarik nafas menghirup bau tanah di depan kantor Armand. “Terimakasih Tuhan… bisa bertemu Petrichor disini.


Ini pertanda baik khan, Tuhan? Terima kasih…” Teriaknya.


“Argghhhh….Sakit ini ndak boleh datang sekarang! Pliss… Ya Tuhan…” Remasan di kanan bawah perutnya dikencangkan untuk menahan sakit.

“Oh iya, Mas Fahri.” Faiza ingat janjinya pada Mas Fahri. “Mas, buka kotaknya nanti malam saja ya. Akan pas waktunya. Makasih… <3.” Bunyi pesan singkat Faiza untuk Mas Fahri. Taksi yang dikendarai Faiza berhenti di depan sebuah rumah berpagar besi putih tinggi. Terlihat beberapa mobil berjajar terparkir rapi. Beberapa wanita cantik dan laki-laki tampan berpakaian rapi berlalu lalang. “Benar ini rumahnya? Sepertinya ada perayaan ulang tahun Armand. Tiga Desember ini akan menjadi tanggal luar biasa, Tuhan. Petrichor muncul dan aku bertemu hujan. Hujan dan Petrichor yang menguatkan.” Keyakinan Faiza seakan menjadi kekuatan luar biasa untuk memasuki rumah mewah itu. Langkah kaki Faiza terhenti di tangga paling atas teras rumah Armand. “Selamat, Nak. Kalian berdua, Armand dan Ella resmi bertunangan hari ini. Kado yang luar biasa untukmu Armand.” Suara itu terdengar melalui pengeras suara di depan pintu diiringi riuh tepuk tangan. Kaki yang tadinya bengkak menahan duduk beberapa jam seakan meledak bersama putusnya pembuluh darah. Gagal ginjal yang diderita Faiza seakan menghilangkan rasa sakit di bagian kanan bawah perutnya. Air mata sudah tak sempat jatuh karena didahului jatuhnya badan Faiza di porselain mahal rumah mewah itu. *** “Saya keluarga Faiza. Izinkan saya segera membawa jenazahnya kembali ke Surabaya setelah saya mengurus semua administrasinya.” Ucap Mas Fahri lirih pada petugas rumah sakit. “Mas, Mas Fahri yang tadi saya hubungi, sepupu Faiza?” Sapa laki-laki di belakang Mas Fahri. “Kamu Armand?!” “I..Iya… Aku Armand.” Armand memeluk Mas Fahri. Fahri melepas pelukan Armand. “Maaf Mas. Faiza… Faiza… “ kata-kata Armand terputus oleh tangis. “Sudahlah…. “ Mas Fahri menghapus airmatanya. “Terima kasih sudah menguatkan Faiza. Setidaknya menurut dia. Aku sudah melarangnya kesini. Tapi keinginannya bertemu denganmu jauh lebih kuat dari laranganku.” Timpa mas Fahri terbata-bata. “Aku akan membawanya pulang, tak usah kau antar. Dia bilang, cukup bertemu denganmu sekali. Ini milik Faiza, sebenarnya dia memintaku membukanya malam kemarin. Belum sempat aku buka, telponmu membuatku malas membukanya. Semoga dia menemukan kebahagiaannya di sana.” Dengan wajah memerah Mas Fahri memberikan kotak milik Faiza dan meninggalkan Armand. Malam muram dengan derai hujan yang menghujat seakan menyaksikan Faiza diarak ke tempatnya pulang. Air mata Armand hanya menjadi pelicin porselain rumah sakit yang tak mampu menguap menjadi hujan apalagi memunculkan Petrichor. Armand bersila tak berdaya di sudut rumah sakit mendekap kotak milik Faiza. “Terima kasih Hujan, menguatkanku dan memberiku Petrichor. Hujan dan petrichor akan saling menguatkan. Selamat Ulang Tahun Hujan, berharap di hari yang sama Petrichor datang. Dan aku datang, Hujan. Petrichor datang bersama hujan, bukan setelah hujan pergi. Bertemu, sekalipun sekali. Bukan tak saling mengenal. Bukan tak saling menguatkan. Tapi menguatkan. Seperti aku olehmu. Love u Hujan.” Petrichor.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar