Selasa, 28 Oktober 2014

CERPEN CINTA - GARA-GARA 26 MINGGU

Gara-Gara 26 Minggu

“Terima kasih ya Sayang, semua ini berkat doa-doamu.” Suara Radit memecahkan keheningan di sebuah resto tempat kami sering nongkrong. “Semua karena Allah dan atas kegigihan kamu, bukan orang lain.” Kusodorkan sebuah bingkisan pengantar kepergian Radit.

“Wow… Apa ini, Sayang? Aku buka ya?” Senyumnya, tak biasa aku lihat beberapa waktu terakhir sejak dia berusaha keras agar bisa diterima beasiswa S2 di Australia. “Terima kasih Cha… Kamu selalu mengerti aku. Besok aku pakai pas aku berangkat dech!” Melihat Radit sangat gembira seperti ini sepertinya memang harus kuurungkan niatku untuk menanyakan tentang masa depan kita. Tapi sepertinya harus kurusak suasana malam ini karena memang tidak ada waktu lagi bertemu dengannya setelah nanti dia menempuh pendidikan S3 di The University of Melbourne Australia.

“Sayang, tidakkah kamu ingin mengikat cinta kita sebelum kamu pergi?” Kontan pertanyaanku menghentikan keasyikannya mencoba jaket yang kuberikan.

“Maksudmu?”

“Maaf, Dit. Usia kita sudah 26 tahun, menurutku sudah waktunya kita memperhitungkan masa depan kita. Empat tahun pacaran juga merupakan salah satu bukti keseriusan cinta kita kan?” Pertanyaanku benar-benar membuat raut wajahnya berubah 180 derajat. Berharap sekali Radit segera menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang menggembirakan.

“Cha, aku nggak akan mengingkari janjiku menikahimu. Dan aku yakin kamu tahu aku tidak pernah tidak serius dalam setiap ucapanku tentang hubungan kita. Nanti, di Disertasiku akan tertulis namamu sebagai istriku.” Genggaman tangan Radit mencoba meyakinkanku.
Radit pintar, tapi menurutku dia sulit mengerti keinginanku. Ingin rasanya aku merasakan apa yang dirasakan perempuan lain, dilamar, tunangan, tidak hanya janji untuk menikah. Lidahku kelu untuk berucap “Lamarlah aku!” Ah…. Keinginan itu sama sulitnya seperti ujian beasiswa ke luar negeri.

* * *

Berharap tumpukan buku dan menyusun jurnal pendidikan bisa melenakan penat dan rindu yang bertubi pada Radit. Proposal penelitian kompetitif yang sedang aku susun bersama beberapa mahasiswa juga telah berhasil mengobati kesepian yang sudah hampir lima bulan ini gentayangan di kehidupanku.
Lontong dan abon sudah masuk ke dalam tas. Sudah siap untuk mengarungi bahtera pekerjaan di awal pekan ini.

“Oh My….Bunga mawar merah berubah menjadi kotak merah!” Nggak tahu apa isi otakku. Syaraf ini serasa menginstruksikan segera membuka kotak perhiasan yang ada di atas jok motorku. Ah…. Bukankah aku wanita normal yang selalu berharap di setiap kotak merah pasti isinya perhiasan.
Dan ternyata…

“God…!! Cincin…!!” Teriakanku sama kencangnya seperti teriakan anak SD menang main gundu.

Kuputar2 cincin cantik berwarna perak itu sambil mencari nama dari pengirimnya. “Siapa sih… yang selalu bikin kejutan seperti ini! Ini kejutan ke-26. Apa sebenarnya maksudnya?! Nggak pernah muncul, kasi identitas kek! Minggu ke-26 ngasi cincin!” Ocehanku pun tak memberi solusi siapa pengirim kejutan rahasia itu.

“Aku, Cha!” Suara itu muncul dari belakang. Berharap sekali itu Radit yang tiba-tiba datang dari Ausi. Nggak sabar ingin segera memeluknya, kuputar badanku dan bersiap untuk memeluk.

Tapi …. Melihat wajah orang yang suaranya seperti tidak asing itu membuatku mengerem putaran kaki dan rangkulan tanganku.

“Ja… Ja…Jadi….yang naruh bunga mawar sa…sa…ma cincin De…Dek… Faiz?” Dan kutampar-tampar pipiku untuk meyakinkan ini bukan mimpi.

“Menikahlah denganku…” Tatapan mata dan genggaman tangannya serasa meruntuhkan kanopi rumahku dan menimbunku.

“Apa-apaan ini! Aku… Aku calon kakak iparmu!”

“Bukan! Aku nggak pernah nganggep kamu pacar kakakku apalagi calon kakak ipar. Kamu nggak akan pernah menikah dengan Radit.”

“Ka… Kamu…”

“Kamu itu bodoh! Radit udah berbuat apa sama kamu? Sampai kamu cinta mati sama dia! Diotaknya cuman ada kuliah sama kerja! Pernah dia ngajak kamu nikah?! Nglamar kamu sebelum dia ke Ausi?! Sampai kapan hubunganmu bakalan kaya pacarannya ABG?! Kamu pengen dia nglamar kamu kan?! Tanpa kamu ngomong aku udah tahu mau kamu, Cha!”

Aku hanya bisa melongo melihat Faiz yang biasanya sedikit bicara sekarang bicaranya panjang ngalahin kereta api ekspress. Dan semuanya benar.

“Menikahlah denganku! Dua puluh enam minggu ini akan tepat mengakhiri 26 tahun masa lajangmu, Cha! Dan selama Kak Radit pergi, ini waktu yang tepat untuk mencurimu dari kakakku. Mengapa dulu kamu milih kakakku? Padahal jelas-jelas aku yang kenal kamu dulu! Aku dulu Cha yang bilang cinta! Aku yang berjuang biar bisa deket sama kamu. Kenapa kamu malah milih orang yang nggak berjuang untuk dapetin kamu? ” Faiz mempertegas kalimatnya. Kulepas genggaman tangannya, kubuka tangan kanannya dan kukembalikan cincin cantik yang sebenarnya sangat aku inginkan dari Radit.

“Aku udah telat 30 menit, mahasiswa menungguku.” Kutinggalkan Faiz bersama kepulan asap motor matic-ku.

“Ini gara-gara dua puluh enam minggu Radit meninggalkanku. Coba kalau dia nggak pergi, kita nggak akan LDR-an dan ini pasti nggak akan terjadi!” Ocehku dalam hati.

Kuhentikan motorku di parkiran dosen paling pojok. Kupasang standart-nya dan…

“Marry Me…”

“Ra… Ra… Radit!”

“Buggg…..” Semua gelap. Berharap ketika bangun ini semua hanya mimpi

* *End* *

Penulis adalah Fy Wibowo. Lahir 26 tahun lalu di Tulungagung Jawa Timur. Seorang ibu dari anak laki-laki lucu dan sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta. Saya bergabung dalam sebuah komunitas menulis JPIN (Jaringan Pena Ilma Nafia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar